![]() |
| credit: pinterest |
Merokok sudah menjadi hal yang umum di mata
masyarakat Indonesia. Bahkan bagi beberapa kalangan, keberadaan rokok dapat
disetarakan dengan makanan pokok pada umumnya. Hal ini terbukti dengan
terpilihnya rokok sebagai salah satu dari 52 komoditas dasar makanan dalam
penghitungan garis kemiskinan untuk kategori makanan dan mempunyai kontribusi
share terbesar kedua terhadap garis kemiskinan untuk kategori makanan setelah komoditas
beras baik di pedesaan maupun di perkotaan. (BPS, 2016)
Bukan hanya dikonsumsi oleh kalangan orang
yang dianggap berkecukupan, namun rokok juga banyak dikonsumsi oleh masyarakat
yang berada di bawah garis kemiskinan. Padahal ketika masyarakat yang berada di
bawah garis kemiskinan ini mengganti konsumsi rokok dengan komoditas makanan
pokok lain yang memiliki kalori lebih banyak, ada kemungkinan ia tidak lagi
digolongkan menjadi warga miskin.
"Nyatanya, mereka lebih memilih untuk menjadi miskin daripada untuk berhenti merokok."
Permintaan atau konsumsi rokok di Indonesia termasuk yang terbesar di
antara negara lain. Indonesia menempati peringkat keempat di dunia pada tahun
2014 untuk jumlah rokok yang dikonsumsi per orang per tahun dengan umur 15
tahun ke atas (Tobacco Atlas). Dari hasil SUSENAS 2015, terdapat 22,57 persen penduduk
di perkotaan dan 25,05 persen di pedesaan yang berusia di atas 14 tahun yang mengonsumsi
rokok. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai
76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan.
Bahan baku utama dari rokok adalah tembakau. Tanaman tembakau (Nicotiana
tobacum.L.) merupakan tanaman semusim, tetapi di dunia pertanian termasuk dalam
golongan tanaman perkebunan dan tidak termasuk golongan tanaman pangan.
Tembakau (daunnya) digunakan sebagai bahan pembuatan rokok (Hanum, 2008 dalam
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian
Pertanian 2014).
Perkebunan tembakau Indonesia pada tahun 2013 menyerap sekitar 528.000
petani tembakau, dengan total nilai industri tembakau dikisaran Rp 10 triliun
(sumber: Ditjen perkebunan, BPS). Diperkirakan juga bahwa terdapat 1,3 juta
anggota rumah tangga yang menggantungkan hidup pada pertanian tembakau. Dalam
bentuk rokok, komoditas tembakau juga dapat dikatakan sebagai komoditas
strategis. Terbukti dengan pertumbuhan rata-rata nilai penjualan rokok dari
tahun 2009-2014 sebesar 14,6 persen lebih
tinggi dibandingkan dengan industri lainnya. Selain itu, harga rokok naik
rata-rata sebesar 8,7 persen per
batang per tahun (2009-2014) (Sumber:
AC Nielsen, laporan keuangan perusahaan rokok terbuka, Euromonitor, estimasi
EY). Tidak hanya itu pada tahun 2013, 95,48 persen dari penerimaan cukai
merupakan sumbangsih dari industri rokok. Jadi dapat dikatakan bahwa tembakau, baik
sebagai komoditas maupun dalam industri rokok memiliki kontribusi besar bagi
perekonomian Indonesia.
Sumber: diolah dari BPS
Dari grafik di atas terlihat bahwa pertumbuhan produksi tembakau di
Indonesia cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2007 hingga 2013 dengan
rata-rata pertumbuhan sebesar 7,92% per tahun (sumber Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2014).
Volume produksi tembakau semakin meningkat
namun volume ekspornya terus menurun. Menurut data dari Kementrian
Perindustrian, Indonesia masih mengimpor 40% dari total kebutuhan tembakau
domestik. Padahal produksi tembakau dalam negri sendiri stabil dan bahkan
cenderung meningkat.
Mengonsumsi rokok pada satu
sisi adalah hak pribadi masing-masing warga negara. Namun di sisi lain, ada
ruang publik yang harus dihormati. Hak masyarakat untuk menghirup udara segar
bebas dari asap rokok, harus mendapat perhatian.
Konsumsi rokok yang tinggi dapat dikatakan
menguntungkan bagi keuangan pemerintah karena sumbangan cukai rokok yang tidak
sedikit dan juga dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Di sisi
lain, rokok dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi penggunanya maupun
orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu konsumsinya perlu diawasi dan
dikendalikan.
Annisa Kusumasari


Comments
Post a Comment